Saya lulus dokter di penghujung tahun 1998, suatu era gunjang-ganjingnya keadaan negara pasca reformasi dan kerusuhan. Keadaan waktu itu bahkan hingga buku ini sedang ditulis memang susah, banyak PHK, harga-harga melambung tinggi, sering ada konflik, pokoknya sêrêm deh. Tetapi walaupun begitu, kita harus tetap optimis, seperti yang difirmankan Allah “janganlah kalian berputus asa dari rahmah-nya Allah”. Dan the show must go ón begitulah yang sering diucapkan orang agar kita selalu optimis.
Setahun masa penantian, dengan mencari sumber penghasilan ala kadarnya di kota Solo, akhirnya turun juga surat penugasan dan penempatan untuk menjalani kerja di sebuah Kabupaten di Propinsi Pulau Jawa. Sudah tradisi, mengikuti pengarahan, latihan pratugas dan turun ke daerah penempatan. Beberapa teman sejawat baik dokter umum maupun dokter gigi yang sama-sama Kabupaten penempatannya berkumpul, merundingkan kapan bisa menghadap bupati, menghadap kepala dinas kesehatan kabupaten serta ke kepala Puskesmas masing-masing. Disepakati pula yang menghadapnya perlu bersama-sama adalah bupati serta kepala dinas kesehatan kabupaten, sedangkan menghadap Kepala Puskesmas, diserahkan ke masing-masing.
Akhirnya. Ya akhirnya bisa merasakan seragam Pemda, seragam Hansip, seragam Korpri dan orang-orang menganggap sebagai pegawai pemerintahan. Ternyata pakai seragam pegawai pemerintahan, meningkatkan status dan citra diri. Dalam kasus ini, saya baru bisa memahami, alasan mengapa Puspowardoyo, pemilik jaringan rumah makan Ayam Bakar Wong Solo, menjadi pegawai negeri. Alasannya sederhana, hanya ingin menambah modal, yang kedua adalah agar meningkatkan status untuk bisa melamar gadis. Wallahua’lam, yang jelas saya merasakan sendiri, ketika belum memakai seragam dan sesudah memakai seragam, saya merasakan “perlakuan” yang berbeda. Walaupun di lingkungan internal pegawai negeri sendiri, status PTT masih belum bisa dianggap sebagai “orang dalam”. Dianggap “pura-pura” pegawai negeri, sehingga banyak teman-teman merasa dianggap sebelah mata oleh staf-staf yang ada. Atau sebagai orang baru, ditanggapi sebagai “ancaman” bagi orang-orang lama yang “merasa” mempunyai “posisi” di Puskesmas. Sehingga awal mulanya, sinis, tetapi setelah diselami akhirnya menjadi akrab dan menjadi bagian tim kerja yang baik dan solid. Inilah pelajaran hidup yang tidak didapatkan di bangku kuliah.
Masa bulan madu pertama, kedua dan ketiga, rasa berbunga-bunga dan “nikmat”nya makin berkurang. Karena hingga tiga bulan itu gaji belum menerima. Kalau pas ada pertemuan sesama yang berstatus PTT, biasanya sesama “pendatang baru” saling rasan-rasan “kok kita belum menerima gaji ya?” Tetapi, akhirnya rasan-rasan itu terdengar ke senior PTT yang sudah dahulu menjalani PTT. Mereka mengatakan “Biasa dik, gaji PTT itu, enam bulan tidak menerima dulu, habis itu baru rutin diterima per bulan” “Kami dan pendahulu-pendahulu kami dulu juga seperti itu”
“Ada yang aneh!?”
“Dulu, ketika pengarahan di Jakarta, seorang pejabat pernah mengatakan ‘satu tahun ke depan termasuk dokter dan bidan PTT sudah dibayarkan ke propinsi, dari propinsi itulah yang memecah gaji menjadi per bulan langsung ke nomor rekening dokter atau bidan PTT yang bersangkutan’ lalu dimana letak kejanggalannya”
Akhirnya forum dokter dan bidan PTT mengutus beberapa dari kami, termasuk ketua forum, dengan biaya dari iuran masing-masing anggota per bulan. Kami semua tahu, para utusan itu adalah orang-orang yang “vokal”. Walaupun mereka dokter dan dokter gigi, tapi jangan remehkan, mereka berani menggebrak meja dan berbicara dengan nada tinggi bila hak-hak rekan PTT dipermainkan. Dan “kompetensi” mereka terbukti. Para petinggi di propinsi kelabakan atas labrakan mereka. Dan konon diantara mereka saling membuka aib sesama teman sendiri di depan para utusan kami. Konon pula, dalam forum itu mereka saling tuding menerima atau meminta jatah uang sebelum dibagikan ke rekening dokter dan bidan PTT. Kabarnya total untuk gaji dokter dan bidan PTT baru se-propinsi bisa mencapai 95-an miliar rupiah per bulannya. Kasak-kusuk ketidak puasan diantara kamipun berkembang kalau dihimpun kira-kira seperti ini:
“wah makan dari bunga deposito selama enam bulan, untung besar nih!”,
“ini nasib orang pak bu yang terhormat, enak saja dipermainkan”, hingga
“enak ya, sana yang untung, kita yang buntung”.
“kami punya tanggungan anak istri”
“jangan permainkan kami”
“dokter juga manusia!”