Menjadi seorang dokter merupakan sebuah karunia tersendiri yang amat luar biasa buat saya. Betapa tidak, untuk menjadi mahasiswa kedokteran saja, harus ada usaha keras plus keberuntungan takdir dari-Nya. Banyak teman-teman saya SMA atau di bimbingan belajar yang prestasi belajar jauh di atas saya, mereka tidak diterima. Namun, Allah SWT telah memilih memberikan amanah yang demikian besar itu kepada saya, sebagai salah seorang dari sekian miliar manusia di dunia ini sebagai anggota komunitas profesi dokter.
Setelah lulus, menjadi dokter, walaupun saat saya lulus, ternyata untuk bisa “survive” tidak semudah membalikkan telapak tangan [bagi orang sehat ya, tetapi bukan untuk penderita stroke]. Tetapi adanya keahlian profesional sebagai dokter membuat saya relatif mudah dalam mencari sumber penghidupan. Karena ada keahlian profesional yang bisa saya jual.
Dalam berinteraksi dengan masyarakat, relatif mudah saya bisa masuk dalam berbagai jenis komunitas masyarakat, dengan relatif sedikit hambatan yang ditemui ketika berinteraksi dengan mereka. Dalam suatu perkumpulan, entah dalam arisan RT, pertemuan bapak-bapak atau pertemuan ibu-ibu, ketika memperkenalkan diri sebagai dokter, maka saya merasa lebih mudah mendapatkan respek yang baik, yang terwujud dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah-masalah kesehatan yang mereka hadapi tersebut kepada saya. Seringkali, secara spontan, diminta menjadi pembicara mengenai penyuluhan kesehatan, dan sebagainya dan sebagainya.
Ketika, membuka praktek, karena interaksi yang relatif intens tersebut, lebih mudah “menggiring” konsumen/pelanggan, yang notabene datang dalam keadaan sakit menuju ruang praktek. Pakar pemasaran menyebut apa yang saya lakukan dengan membuka ruang komunikasi melalui forum-forum komunikasi tersebut, disebut dengan marketing public relations. Dampak “baiknya” adalah seperti yang saya katakan tadi lebih mudah “menggiring” konsumen/pelanggan datang ke tempat praktek. Dampak “tidak baiknya” adalah masyarakat atau lebih tepatnya “konstituen saya” akibat kontak yang intens, menjawab semua pertanyaan, bersikap sopan, tidak membeda-bedakan orang, semua disalami dan disapa dengan baik membuat saya dipersepsi oleh “konstituen” sebagai “sosok heroik” yang serba bisa, serba ada waktu untuk menolong, “sosok malaikat” yang selalu longgar hatinya, yang selalu memberikan yang terbaik ketika diminta memberikan pertolongan dan sebagainya dan sebagainya. Karena itu seperti lagunya grup band Serieus, ingin Kuteriakkan pada mereka “rocker [DOKTER] juga manusia…… punya rasa….punya hati..!!!
Walopun lulus tahun 1998, saya mulai praktek tahun 2000, setelah menjadi dokter PTT, dengan tempat praktek adalah sekaligus tempat tinggal. Selama menunggu itu saya jaga di Poliklinik 24 jam di Solo yang gajinya Rp.5000 per 8 jam dengan tambahan Rp. 1000,- per pasien. Dan menjadi dokter jaga di UGD RSJ dengan gaji Rp. 50.000 per 8 jam, dan jaga di Poliklinik 24 jam di Klaten selama 3 x 24 jam seminggu x 4 dalam sebulan dengan gaji Rp. 400 ribu. plus nyambi jualan sabun susu.... halllah Capek deh jadi dokter ya.
Kembali ke cerita tempat praktik, ada kelebihan dan kekurangan memilih tempat praktek sekaligus tempat tinggal. Kelebihannya, lebih irit biaya, karena sama-sama kontrak dan bukan properti milik sendiri. Kelebihan kedua, waktu untuk keluarga dan tetangga lebih banyak, karena tidak usah pergi jauh menuju tempat praktek. Kelebihan ketiga, lebih hemat tenaga dan waktu, karena tidak usah repot-repot mempersiapkan diri, menata jadwal penuh untuk pergi ke tempat praktek.
Sedangkan kekurangannya adalah, pertama, pasien terutama tetangga dari satu desa, merasa dokter stand by di rumah, sehingga sewaktu-waktu mereka dapat “menggedor” pintu untuk meminta pertolongan, walaupun dalam plakat praktek terpampang praktek jam sekian sampai sekian. Memang saya menyadari, nama sakit muncul setiap saat, tidak bisa direncanakan, dan harus segera minta pertolongan. Kedua, harus mengeluarkan energi psikis yang luar biasa, untuk mengatasi suasana hati yang kadang longgar kadang sempit, dalam menghadapi tuntutan melayani dengan jam “sewaktu-waktu”. Ketiga, keluarga menyiapkan diri untuk memberikan “korban perasaan” tidak dipercayai atau dicurigai berbohong, ketika saya benar-benar tidak ada di rumah pada saat mereka meminta pertolongan. Pernah suatu ketika ketika saya mudik sendirian ke kampung halaman untuk menjenguk bapak ibu, ada pasien yang periksa. Mendengar jawaban dari istri saya bahwa saya sedang pulang kampung, pasien tidak percaya dengan jawaban yang disampaikan istri saya. Ia menunggu, dan bahkan mencoba melongok-longok ke dalam rumah tidak percaya dan mengira saya bersembunyi di dalam rumah. Keempat, siap menerima hukuman ketika hati atau mood sedang tidak longgar atau sedang keletihan hebat, sehingga tidak memberikan pelayanan. Untuk yang terakhir ini, ada pengalaman yang luar biasa. Suatu ketika ada seorang pasien pria, umur 80-an tahun, mempunyai kebiasaan seperti yang ada dalam buku ini, yaitu mandi setahun sekali pada bulan syura/muharam, untuk memenuhi syarat mistiknya. Beliau itu rajin datang tiap dua hari atau tiga hari sekali meminta suntik, agar tetap segar, dan berlangsung lebih dari dua tahun. Sudah berkali-kali saya dan istri menganjurkan kepadanya agar melepaskan jimat dan syarat mistiknya yang mandi setahun sekali itu bahkan dengan sedikit mengancam, saya tidak akan memberikan obat kepadanya, sebelum dia mandi. Begitu kukuhnya keyakinan tersebut, sampai-sampai dia pernah berkata, “lebih baik saya mati, dari pada disuruh mandi”. Sebenarnya sakit-sakitannya dia itu dari sudut pandang agama Islam adalah akibat keterikatannya dengan makhluk halus Jin dan sebangsanya, yang mengganggu keikhlasan saat-saat sakaratul maut menjelang. Suatu ketika hampir tengah malam, pukul 11.30-an, beliau datang kesakitan, pada waktu itu saya benar-benar letih dan kurang istirahat, serta sudah tertidur. Karena pintu pagar “digedor” dan terdengar “erangan” saya dan istri terbangun. Keletihan dan kurang istirahat, membuat kami menahan diri tidak membukakan pintu, karena takut akan tidak memberikan pelayanan yang prima, bahkan bisa-bisa memarahi pasien. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar getaran keras pada kaca-kaca rumah kami. Getaran keras pada kaca-kaca rumah, belakangan saya ketahui konon katanya tenung atau santet yang gagal masuk.
Apa yang saya alami, tidaklah sebanding dengan yang dialami teman-teman sejawat yang berada di daerah-daerah terpencil. Bahkan ada seorang teman sejawat yang bercerita harus berjalan menyusuri hutan dan sepatu dilepas berbecek-becek jalan di atas genangan air dan sungai, untuk mencapai rumah seorang penderita yang tidak mampu berjalan. Kakak saya sendiri yang menjadi dokter PTT di Bengkulu mendapatkan daerah yang susah mendapatkan air bersih. Air sumur di rumah dinas, baru diambil 2 – 3 ember sudah keruh dan tidak bening lagi. Belum lagi, tidak banyak mendapatkan uang cash, pasien yang berobat mengganti ongkos obat dengan memberikan seekor ayam jantan. Menurut adat istiadat setempat bahwa seseorang akan mendapatkan suatu penghormatan tertinggi bila mendapatkan ayam jantan. Maka ketika bapak dan ibu berkunjung ke tempat kakak mendapati bagian belakang rumah layaknya seorang peternak ayam, tetapi semuanya ayam jago. Dalam kondisi yang demikian, gaji dokter PTT sampai ke tangan setiap enam bulan sekali. Jadi selama gaji belum keluar semua biaya hidup ditanggung dari tabungan pribadi.
Dokter ketika saya baru masuk kuliah nasibnya tidak seperti dokter-dokter jaman dulu. Kalau dulu dokter yang baru lulus, pasti menjadi pegawai negeri, menjadi dokter kepala dinas kesehatan kabupaten pada awalnya, serta belakangan menjadi dokter kepala puskesmas. Ketika saya baru kuliah, tidak ada lagi dokter langsung menjadi pegawai negeri sipil. Pengangkatan pegawai negeri sipil berdasarkan sebanyak jumlah dokter yang pensiun. Jadilah dokter menjadi pegawai tidak tetap [PTT], seringkali di-peleset-kan dokter pegawai tiga tahun, karena masa kontraknya adalah tiga tahun. Saat ini jumlah dokter jauh lebih melimpah ketimbang dulu, bahkan hingga tulisan ini disusun, jumlah fakultas atau program studi kedokteran atau institusi penyelenggara pendidikan dokter se-Indonesia berjumlah 48 institusi dan ada kecenderungan terus bertambah. Ini dapat diartikan produksi dokter setiap tahunnya menjadi meningkat pesat ketimbang beberapa dekade sebelumnya. Pada saat yang sama dengan menyatunya dunia menjadi global vilage, maka tidak ada satu sektorpun tak terkecuali sektor kesehatan termasuk didalamnya migrasi dokter-dokter yang demikian mudah dari satu negara ke negara lain.
Keadaan ini mau tidak mau, suka atau tidak suka, sebagai sesama dokter tempat kita tinggal disesaki tenaga profesional yang bernama dokter yang semakin padat. Sudah menjadi rahasia umum, ada sebagian dari sejawat dokter yang senior membuat barier entry terhadap sejawat mereka yang yunior. Dokter juga makhluk ekonomi, mereka tentunya tidak ingin “capture market-nya” berkurang, karena dalam “wilayah operasi” ada tambahan “pedagang” baru. Karena itu Bhisma Murti menyebut mereka sebagai “kartel” yang dengan sengaja menciptakan scarcity sehingga akan mempertahankan harga pasar dengan margin besar yang telah dinikmati.
Perilaku sebagian dokter diatas adalah contoh perilaku yang reaktif dalam menghadapi perubahan sedang berlangsung di sekitar kita. Daya tahan perilaku yang reaktif, tentu tidak akan bisa dipertahankan dalam waktu yang lama sebagai strategi bersaing dalam jangka panjang. Betapa tidak, mobilitas masyarakat yang demikian tinggi, juga mobilitas dokter “competitor” terutama yang berasal dari luar negeri, semakin tidak terbendung lagi. Peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana dokter harusnya melakukan praktek haruslah sejalan dengan peraturan yang berlaku dalam dunia global. Karena itu perlulah kiranya dokter-dokter produk dalam negeri ini memikirkan langkah-langkah strategis jangka panjang. Perlu langkah bersama, perlu pencerahan bersama, dan perlu langkah yang melampaui apa yang kita lakukan dan pikirkan hari ini.
Langkah awal dalam memulai langkah strategis ini adalah dokter mulai mendefinisikan lagi siapa mereka, siapa yang mereka layani, bagaimana karakteristik manusia yang mereka layani, bagaimana melakukan pendekatannya, dan bagaimana mengelola sumber daya yang ada dalam melayani konsumen sebaik-baiknya sembari tercapainya dua misi yaitu misi kemanusiaan dan misi memberikan penghidupan yang baik bagi dokter sendiri beserta timnya. Sekalipun bukan yang terbaik, setidaknya apa yang dilakukan oleh Aravind Eye Center setidaknya merupakan pendekatan yang lebih mendekatkan pada visi dan misi ini.
Dokter juga manusia, yang bisa salah dan khilaf. Bisa saja dokter salah dalam mendiagnosis atau memberikan terapi. Mungkin itu jawaban singkat terhadap ramainya tuntutan malpraktek dewasa ini. Tetapi apakah hanya sebatas itu saja. Setidaknya banyak langkah-langkah, metoda-metode atau strategi-strategi yang bisa dilakukan dengan menggunakan praktek berbasis bukti yang bisa diterapkan untuk mengurangi resiko malpraktek tersebut. Pembatasan jumlah tempat praktek yang maksimal di tiga tempat adalah salah satu usaha untuk mengurangi resiko kealpaan dokter dalam mengelola pasien-pasiennya. Disamping ada hikmah lain, pembatasan dokter asing agar tidak praktek juga lebih dari tiga tempat. Karena mereka menuntut aturan yang disamakan dengan dokter produk dalam negeri.
Dokter juga manusia. Dokter juga mempunyai kehidupan pribadi. Dokter juga mempunyai status kesehatan sendiri. Dokter juga manusia. Bisa sakit hati apalagi sakit fisik, punya salah dan punya khilaf. Kemampuan ekonominya juga berbeda-beda antar dokter satu dengan yang lain. Namun dalam kenyataannya, karena dipersepsi oleh masyarakat, orang yang mengerti tentang segala aspek tentang kemanusiaan, maka masyarakat mempunyai banyak pengharapan yang berstandar tinggi. Stereotipe yang berkembang adalah bahwa dokter adalah sosok yang lembut, ramah, mudah menolong, kaya, bermobil, keluarganya baik-baik, terhormat dan tidak pantas dokter melakukan hal-hal yang remeh dan pekerjaan kasar.
Kenyataannya, tidak semua dokter kaya. Tidak semua dokter mempunyai pasien yang banyak. Saya sendiri, tidak mempunyai mobil, dan banyak pasien saya heran dengan penampilan saya kalau bepergian naik sepeda motor. (sst! baru satu tahun lebih saya memakai mobil setelah sepuluh tahun praktik) Bahkan ada pasien mengatakan “dokter bersahaja nggih, biasanya dokter naik mobil, tetapi panjenengan naik sepeda motor dan pakai helm yang mekaten meniko. [pasien tidak berani mengatakan helm yang saya pakai jelek] Ada teman sejawat lain yang pekerjaan sambilan di luar pekerjaan utama di Puskesmas atau Poliklinik rumah sakit, adalah broker mobil. Sehingga ada joke dari staf puskesmas, yang mengatakan sekarang dokter A gelarnya MM. Saya pikir habis saja wisuda mendapatkan gelar MM [magister manajemen], sehingga saya menanyakan, “kuliahnya dimana? dan syukuran wisudanya kapan?” Ternyata MM yang dimaksud adalah Makelar Mobil.
Beberapa waktu yang lalu, teman saya seorang pengacara bercerita ada dokter senior yang baru saja ia urus surat perceraiannya. Sejenak kenyataan ini menyadarkan kembali kepada saya bahwa dokter adalah juga manusia. Mempunyai kehidupan pribadi dan keluarga yang harus dijaga privasinya. Namun ada yang mengganjal dalam hati saya, selama saya praktek walaupun masih lima tahun, sudah lebih dari sepuluh kali saya menerima “curhat” dari pasien yang sedang mengalami broken home. Mulai dari suami atau istrinya selingkuh, jarang pulang rumah, suami berjudi, anak-anak mulai ada yang menjadi peminum dan sebagainya dan sebagainya.
Dokter yang perceraiannya baru diurus oleh teman pengacara tadi adalah senior jauh di atas saya. Mestinya sudah jauh lebih banyak pasangan-pasangan dari pasien-pasiennya yang berkonsultasi mengenai masalah keluarga yang dialami. Ternyata dia sendiri mengalami masalah yang sama dengan yang dialami oleh pasien-pasiennya. Lalu kepada siapakah dokter-dokter berkonsultasi ketika dia mempunyai masalah pribadi? Kepada siapakah dokter-dokter berkonsultasi ketika dia mempunyai masalah kecanduan obat? Kepada siapakah dokter-dokter berkonsultasi ketika dia mempunyai masalah dengan keluarga? Sementara orang-orang di sekitar sudah menganggap dokter berada di posisi atas, sehingga layak sebagai tempat konsultasi. Inilah ironisnya, ketika dokter mempunyai masalah pribadi atau masalah keluarga yang sangat privat, dokter kesulitan menemukan orang, tempat, serta ruang untuk menumpahkan dan mencoba mengurai segala permasalahan yang ada.