Apa yang dokter ucapkan ketika mendapatkan pasien yang buaaanyaak sekali. “Alhamdulillah?” “Innalillaahi wainna ilaihi rooji’un?” “Astaghfirullah?” Tidak harus Anda jawab! Meskipun demikian kita lebih baik doanya dari pada si tukang pembuat peti mati. Kalau dokter pas sepi pasien berdoa kepada Allah SWT, “ya Allah, mohon Engkau jadikan banyak orang sakit hari ini, karena anakku akan jatuh tempo membayar SPP-nya”... hiks hiks.. Lha kalau tukang pembuat peti mati lantas dia harus berdoa seperti apa?
Saat ini saya berusia 38 tahun, sudah 12 tahun berkarier sebagai dokter umum, praktik solo [
solo practice]
di rumah sendiri, menjadi pengajar di sebuah fakultas kedokteran swasta di Solo dan penulis buku ilmiah populer serta artikel-artikel kesehatan di media cetak. Mempunyai dua rumah tinggal, yang pertama untuk tempat praktik dan yang kedua untuk rumah tinggal. Perlu saya ceritakan keduanya berstatus kredit dan masa pelunasan untuk yang tempat praktik sepuluh tahun sedangkan rumah tempat tinggal baru berstatus lunas lima belas tahun, insya Allah. Karena keperluan membangun rumah tinggal, terpaksa kami harus merenegosiasi ulang perjanjian utang,
start pembayaran pada tahun 2010 semuanya. Jadi kalau dibuat jadwal tahun pelunasan untuk yang tempat praktik lunas pada tahun 2020 [waktu itu insya Allah saya berusia 47 tahun], sedangkan tempat tinggal lunas pada tahun 2025 [insya Allah berusia 52 tahun].
Saya baru menyadari langkah-langkah yang kami ambil bukanlah langkah terbaik, karena kami mempunyai hutang dan membayar kepemilikan properti tersebut dengan penghasilan masa depan. Sebenarnya ada yang jauh lebih memuaskan, baru saya sadari ketika baru-baru ini karena urusan pembelajaran di fakultas, saya melakukan kontak kembali dengan teman lama yang dulu sama-sama kuliah di fakultas kedokteran, yaitu dokter Rosyid Ridho. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur utama Rumah Sakit Amal Sehat di Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri. Saya menganggap dokter Rosyid layak untuk dijadikan benchmarkingbuat mahasiswa-mahasiswa saya, agar mempunyai jiwa kewirausahaan yang dapat diandalkan bagi perkembangan kariernya kelak. Sesuatu yang saya anggap luar biasa dari beliau adalah, dalam waktu 12 tahun [sama dengan saya menghabiskan waktu kariernya sebagai dokter umum], beliau telah membangun sebuah rumah sakit swasta dengan jumlah karyawan 180 orang dan membangun pondok pesantren tahfidhul Qur’an dan salah satu santri pondok tersebut mempunyai murid 500 orang di kecamatan tersebut. Rumah sakit yang beliau bangun itu, melayani semua pasien dengan berbagai kondisi sosial ekonomi, tidak terkecuali pasien tidak mampu. Pasien yang tidak mampu, diwajibkan sejak semula harus jujur mengatakan tidak mampu, nanti akan diperlakukan dengan manajemen khusus, tetapi dengan kualitas pelayanan yang sama dengan pasien lainnya. Perbedaan hanya pada masalah fasilitas kamar. Sementara pasien yang mampu, tetapi belakangan baru tahu rekening tagihannya melebihi uang yang ada di kantong, bisa dilakukan negosiasi harga. Pihak rumah sakit melakukan strategi penurunan harga, lewat menghubungi dokter yang merawat apakah bersedia menggratiskan atau mendiskon jasa medis dan tindakan dokter dan mendiskon biaya sewa ruangan, kemudian ditawarkan lagi kepada pasien. Ternyata, bila pasien tetap tidak mampu akhirnya pihak rumah sakit menggratiskannya. Jadi tidak pernah dalam sejarah rumah sakit, pasien pulang meninggalkan jaminan barang atau bahkan penyitaan pasien, karena pasien tidak punya uang. Pihak rumah sakit sejak semula benar-benar memberikan kepercayaan penuh kepada pasien bahwa pasien dan keluarganya pasti punya iktikat baik. Saya pun sempat bertanya kepada staf keuangan rumah sakit, apa nanti tidak rugi, kalau ternyata banyak pasien yang berperilaku seperti itu. Luar biasa, ternyata TIDAK! Pasien yang meminta negosiasi dan akhirnya mungkin digratiskan ternyata jumlahnya tidak lebih dari 3 %. Angka ini persis seperti angka rata-rata dalam industri, yaitu non performing loan [tunggakan bermasalah] yang sehat juga tidak lebih dari 3 %. Fakta yang lebih menarik lagi adalah, karena banyak orang yang tahu iktikat dan komitmen rumah sakit dalam hal keuangan terhadap pasien, tidak sedikit pasien yang membayar lebih dari tagihan yang seharusnya mereka bayarkan.
Kalau dibuat perbandingan antara kami berdua [saya dan teman saya tersebut], terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kami sama-sama tidak memiliki darah biru dalam karier dokter. Darah biru maksudnya adalah bapak atau ibunya dokter baru adalah seorang ahli senior spesialis [termasuk guru besar] dan mempunyai kekayaan yang memadai, sehingga startnya tidak dari nol. Bahkan untuk teman saya ini, sudah mulai merintis usaha sejak di bangku kuliah, karena saat kuliah sudah menikah. Saya sebenarnya juga demikian, hanya bedanya saya hampir lulus dokter, sementara dia menikah sebelum co-Ass. Penghasilan yang dia peroleh ketika belum lulus dokter berdagang di pasar. Sementara saya menjadi penerjemah, membantu tugas mahasiswa dan residen. Tetapi ketika sama-sama lulus menjadi dokter, kami berdua sama-sama melepas pekerjaan sebelum lulus dan benar-benar menjadikan profesi dokter sebagai pekerjaan utama. Persamaan lainnya, kami berdua sama-sama mengikuti program PTT [pegawai kontrak selama tidak tahun, PTT sendiri berarti pegawai tidak tetap], dan menjalaninya selama tiga tahun.
Perbedaan menyolok antara saya dan dia adalah hingga saat tulisan ini dibuat, teman saya ini belum memiliki rumah, masih tinggal bersama mertua. Termasuk mobil yang dimiliki Toyota Innova saat beliau berkunjung ke rumah saya pada suatu malam bersama istrinya, ternyata baru beli kurang dari satu tahun. Berarti, selama sebelas tahun lebih mobil yang dimiliki adalah Suzuki Carry tua. Ukuran yang sangat kecil untuk pemilik rumah sakit dengan karyawan 180 orang! Lalu muncul pertanyaan, kemana perginya uang surplus usaha rumah sakit itu? Kebanyakan dari kita, terlebih dokter [termasuk saya dan keluarga] godaan terbesar ketika mempunyai uang banyak adalah ingin memiliki rumah, mobil dan barang-barang bagus lainnya. Terlebih apabila di sekitar kita, ada anggapan atau persepsi bahwa profesi dokter harus terlihat kepribadiannya. Maksudnya rumah pribadi, mobil pribadi, asisten pribadi dan sebagainya. Karena itu baru praktik pribadi ramai saja, sudah berani kredit rumah, kredit mobil, kredit lap top, dan beli handphone serta tablet terbaru secara cash. Akibatnya uang sudah habis, tinggal sedikit ada di rekening sebagai tabungan. (intisari ada di gambar 1)
Gambar 1.Perbedaan perjalanan karier sebagai dokter antara saya dengan dr Rosyid Ridho
Apa yang dilakukan oleh dokter Rosyid Ridho berbeda dengan kebanyakan kita. Bahkan untuk keperluan keluarga sendiri ditekan seefisien mungkin. Agar investasi yang ditanamkan bisa maksimal. Saat penulisan ini, bila dihitung-hitung keperluan untuk membangun dan mengisi peralatan, belum termasuk pembebasan tanah, biaya yang bisa ditelan untuk rumah sakit seukuran yang didirikan teman saya bisa mencapai 15 miliar rupiah! (beliau bercerita, teman sejawat seniornya baru-baru ini membangun rumah sakit seukuran rumah sakit yang beliau dirikan mencapai angka tersebut). Biaya ini belum termasuk biaya operasional dan pemasaran yang harus ditanggung sebelum pemasukan rumah sakit mencapai titik impas. Karena itu wajar kalau hingga tulisan ini disusun, beliau dan keluarga beserta mertua merelakan diri tidak membangun rumah pribadi dulu. Pembelian mobil Innova itu pun karena kebutuhan mobilitas yang mendesak, seperti harus bertemu dengan stakeholder di ibu kota propinsi atau kegiatan-kegiatan lain di luar kota yang frekuensi dan intensitasnya makin meningkat. Style investasi yang dilakukan teman saya, mengingatkan saya akan seorang pengusaha yang memiliki perusahaan Konimeks, bapak Junaidi Yusuf. Walaupun bukan orang pribumi dan bukan seorang muslim, saya sangat terkesan dengan model investasi beliau dalam wawancara di majalah SwaSembada di suatu edisi. Bapak Junaidi Yusuf bercerita bahwa model investasi yang diterapkan oleh usahanya, mengikuti filosofi 7 musim penghujan dan 7 musim kemarau yang terjadi pada zaman nabi Yusuf AS. Artinya menanam selama tujuh tahun untuk bekal saat kemarau tujuh tahun. Bapak Junaidi Yusuf menegaskan prinsip investasi untuk membesarkan perusahaannya dengan memakai uang masa lampau, BUKAN UANG MASA DEPAN! Maksudnya bukan uang masa depan, terus ada uang masa lampau? Investasi dengan menggunakan uang masa lampau, maksudnya adalah usaha yang dirintis sejak awal telah menghasilkan surplus. Surplus itu diinvestasikan lagi untuk memperbesar bisnisnya, yang nantinya akan menghasilkan surplus yang lebih besar lagi dan seterusnya hingga bisnis menjadi membesar dan terus membesar [gambar 2].
Pada kasus dokter Rosyid Ridho, praktik pribadi [solo practice] setelah beberapa tahun, sudah menghasilkan surplus, diinvestasikan untuk membeli sebidang tanah, membangun kamar dan merekrut perawat. Awalnya beberapa kamar dan beberapa perawat. Kemudian hasil praktik rawat jalan dan rawat inap itu menghasilkan surplus lagi kembali diinvestasikan melebarkan tanah, membangun kamar dan merekrut perawat dan akhirnya dokter. Terus... terus dan terus dilakukan hingga puzzlerumah sakit tersusun sempurna dengan 180 karyawan/wati plus dokter dan beberapa manajer. Semua pembiayaan investasi berasal dari uang masa lampau. Gambar 2. Pola investasi dan pembelian barang liable(barang yang menambah beban keuangan) dengan menggunakan uang masa lampau, artinya surplus diperoleh dikumpulkan baru digunakan.
Sedang investasi dengan menggunakan uang masa depan maksudnya, biaya investasi dengan menggunakan pinjaman modal yang tentu saja ada beban yang harus dibayar. Cicilan utang plus beban modal [capital charge] ini dibayar menggunakan pendapatan yang diperoleh di masa mendatang. Jadi pendapatan masa mendatang berkurang. Tetapi harapannya pendapatan masa mendatang akan jauh lebih besar karena ada pembelian aset yang menambah pendapatan tambahan dari pada pendapatan yang selama ini diperoleh [gambar 3]. Pada gambar 3 yang digunakan contoh adalah kasus saya sendiri.
Sama-sama memulai dari praktik pribadi [solo practice], tetapi di perjalanan selanjutnya, pada saat ada kesempatan membeli tanah untuk dibangun rumah, kami beruda [saya dan istri] memutuskan untuk memakai jasa perbankan, mendapatkan dana cash, untuk membeli tanah dan membangun rumah. Pada prinsipnya kita membeli “beban membayar utang” dengan uang yang berasal dari pendapatan masa depan kita.
Gambar 3. Kepemilikan properti saya, sekaligus semuanya merupakan liabilitas. Titik kritis yang harus saya hadapi adalah pada periode waktu tahun 2011 – 2013 karena ada tiga liabilitas yang harus saya bayar sekaligus yaitu cicilan mobil, cicilan rumah praktik dan cicilan rumah tinggal. Antara tahun 2013 – 2020 tinggal dua beban utang rumah tinggal dan rumah praktik, baru antara tahun 2020 – 2025 hanya tinggal satu beban utang rumah tinggal.
Teman saya dokter lainnya [lulus dokter pada tahun yang sama dan sama-sama bukan dari kalangan darah biru profesi dokter] punya pengalaman yang unik berkaitan dengan wirausaha. Beliau adalah dokter Khusnan, beliau tinggal di Purwokerto. Sama dengan dokter Rosyid Ridho, dokter Khusnan berorientasi pada investasi bisnis. Ada sedikit perbedaan dengan dokter Rosyid, sebagian investasi yang dikerjakan ada yang bersumber keuangan dari pendapatan masa lalu [surplus usaha sebelumnya], sebagian investasi lainnya dengan meminjam uang dari jasa perbankan. Yang menarik adalah beliau membagi berbagai divisi dalam unit-unit usaha. Untuk memanage unit-unit usaha tersebut dan mengurusi semua keperluan dokter Khusnan berkaitan unit-unit usaha tersebut, beliau mengangkat manager umum dan manajer divisi dengan gaji yang bahkan melebihi gaji dokter PTT! Mengenai gambaran umum apa yang dilakukan oleh dokter Khusnan berkaitan dengan aktivitas wirausahanya dipaparkan pada gambar 4.
Gambar 4.Pengalaman unik wirausaha dokter Khusnan, surplus dari praktik pribadi diinvestasikan ke unit usaha di luar kesehatan awalnya bengkel dan grosir spare part mobil serta grosir peralatan tulis kantor dan sekolah. Selanjutnya surplus diinvestasikan membeli usaha tutup botol, biskuit kemudian salon, gelanggang futsal dan membeli beberapa unit taxi. Sementara praktik pribadi tidak dikembangkan lebih lanjut.
Satu lagi kakak kelas satu tingkat di atas saya, bernama dokter Prasetyo Widhi SpPD [spesialis penyakit dalam], beliau sejak kuliah aktif di berbagai kegiatan sosial, seperti bakti sosial dalam jumlah yang tak terhitung, mendirikan klinik-klinik gratis yang berbasis di pondok pesantren dan panti asuhan.
Setelah lulus dokter, beliau ke Jakarta mulai bekerja di klinik-klinik 24 jam, kemudian merintis klinik 24 jam juga, secara bertahap jumlahnya dari waktu ke waktu terus bertambah jumlah klinik 24 jam yang dirintis, hingga mendirikan rumah sakit yang tentu saja berbasis rujukan klinik-klinik 24 jam yang telah dirintis sebelumnya (gambar 5).
Gambar 5.Model wirausaha dokter Prasetyo Widhi SpPD, bergerilya mendirikan klinik 24 jam di berbagai tempat sebelum puncaknya mendirikan rumah sakit.
Selanjutnya muncul pertanyaan, pembaca (dokter dan calon dokter) mempunyai model wirausaha yang mana? Dalam sesi ini saya telah paparkan ada tiga contoh benchmarking model wirausaha secara umum. Harap diingat, saya bukanlah contoh yang baik karena saya mempunyai beban liabilitas setidaknya dalam kurun waktu lima belas tahun sejak tahun 2010, ketika saya merestrukturisasi utang untuk kepemilikan properti. Contoh ideal yang saya rekomendasikan adalah model dokter Rosyid Ridho yang mengembangkan wirausaha yang masih linear dengan profesi dokter. Contoh ideal selanjutnya adalah dokter Khusnan, mengembangkan wirausaha di sektor yang tidak sejalur dengan profesi dokter. Bagaimana pun juga dengan mengembangkan wirausaha mulai dari angan-angan menjadi kenyataan, akan membantu mengentaskan permasalahan bangsa yang pelik akhir-akhir ini yaitu “kemelut” dibidang finansial dan membantu menciptakan lapangan kerja baru.