Profesi dokter bukan pilihan yang tepat untuk mencari kebahagiaan
Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan jumlah fakultas kedokteran begitu cepat melebihi beberapa dekade sebelumnya. Di tahun 2004 saja, baru ada 45-an fakultas kedokteran negeri maupun swasta. Di tahun 2010 ini, jumlahnya bertambah hingga mencapai 72 fakultas kedokteran. Alasan rasional pertambahan jumlah fakultas kedokteran adalah jumlah dokter umum di Indonesia masih kurang untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Kebutuhan dokter yang ideal adalah setiap 2500 penduduk butuh satu dokter umum. Dari kebutuhan dokter umum 80.000 orang, saat ini baru terpenuhi 50.000 orang dokter umum. Kita masih membutuhkan tambahan 30.000 dokter umum. Lulusan dokter per tahun hanya 5.000 orang. Jadi dapat dikatakan profesi dokter masih menjanjikan secara finansial di masa depan.
Ternyata antara alasan normatif dengan alasan realitas berbeda. Alasan normatif sudah disebutkan di atas, memang kenyataannya jumlah dokter masih kurang. Walaupun ada masalah yang jauh lebih besar ketimbang sekedar masih kurang, yaitu distribusi dokter yang tidak merata di seluruh tanah air. Dapat dikatakan lebih dari saparoh dokter di Indonesia tinggal di pulau Jawa dan daerah perkotaan. Alasan yang lebih realistis dan berada di benak lulusan SMA dan orang tua calon mahasiswa berbiara lain.
Kenyataannya motivasi sebagian besar lulusan SMA dan tentu saja orang tua mereka, adalah masa depan dokter tetap menjanjikan di masa depan. Seandainya ngelamar kerja tidak diterima di mana-mana pun, tetap masih bisa mandiri dengan membuka praktik. Banyak dokter yang mereka lihat secara ekonomi mapan, mobil mewah, rumah megah, uang berlimpah, dan mempunyai status sosial yang jauh lebih baik ketimbang kebanyakan orang. Walaupun ada sebagian orang tua yang mengatakan “Kan dokter peluang ibadahnya lebih banyak. Menolong banyak orang dan bisa kaya”.
Saya pun bertanya dalam hati, apakah tidak ada cara lain yang peluang ibadanya lebih banyak, menolong banyak orang dan bisa kaya? Apakah hanya menjadi dokter yang bisa mengantarkan seseorang bisa menjadi seperti itu? Kan tidak. Banyak ustadz yang bisa menolong banyak orang, peluang ibadah lebih banyak dan banyak di antara mereka yang kaya. Banyak pengusaha yang bisa menolong banyak orang dengan memberikan pekerjaan, peluang ibadah lebih banyak karena mereka bisa mengatur waktu secara mandiri dan tentu saja mereka kaya. Kenapa ga rame-rame pengen jadi pengusaha aja? Nah kena lho....
Yah semuanya dikembalikan kepada selera. Saya tahu itu, ada orang yang suka makan makanan yang pedas, ada orang yang suka makan durian, ada juga yang suka makan pete atau jengkol, namun ada pula yang membenci semua makanan itu malah dia sangat menyukai makanan laut.
Tetapi yang harus diperhatikan dan diingat, tidak ada keputusan di dunia ini yang bebas dari risiko dan konsekuensi. Orang yang suka makan pedas punya risiko sakit maag dan sakit perut. Orang yang suka makan durian beresiko bisa naik kadar kolesterol darahnya. Orang yang suka makan pete dan jengkol punya risiko dibenci banyak orang ketika buang air kecil, karena baunya sangat menyengat. Orang yang suka makan makanan laut punya risiko alergi. Demikian juga ketika kita memilih suatu profesi tempat kita mencari penghidupan semuanya tidak bebas dengan risiko. Jadi pengusaha... OK mempunyai peluang semua yang kita inginkan bisa terbeli karena harta berlimpah, tetapi juga punya risiko bangkrut dan meninggalkan bahkan mewarisi hutang yang bisa ditanggung tujuh turunan. Woow ngeriii..
Jadi ustadz, punya peluang beribadah yang banyak, bisa menolong banyak orang, dan bisa kaya... juga punya risiko “tidak bebas” karena semua perbuatan yang dilakukan akan “dimonitor terus” setiap saat dan setiap waktu oleh jamaah, media dan tentu saja Sang Maha Pencipta. Bila sedikit saja tergelincir akan mudah dicaci dan dicemooh serta dicampakkan begitu saja oleh konstituennya. Wah wah...berat juga ya..
Memilih profesi dokter apalagi... hiii ngeriiii... kayaknya risiko yang dihadapi dokter adalah gabungan antara risiko pengusaha dan risiko ustadz. Risiko pertama seperti pengusaha bisa meninggalkan utang tujuh turunan... lantaran dituntut malpraktik oleh pasien dan dituntut mengganti rugi atas kerugian material, kehilangan nyawa dan kehilangan penghidupan klien. Kalau tidak mampu membayar ya... masuk penjara. Risiko kedua, konsekuensi dari risiko pertama yaitu akan mudah dicaci dan dicemooh serta dicampakkan begitu saja oleh konstituen yang sebelumnya sangat memujinya. Inilah mungkin yang dialami oleh RS Omni Internasional tempat kasus terjadinya Prita. Setelah meledaknya kasus Prita, mendadak RS itu sepi, di facebook jadi barang cemoohan dan umpatan-umpatan liar, dan sudah melupakan jasa-jasa baik yang telah dipersembahkan kepada masyarakat selama bertahun-tahun sejak berdirinya. Menjadi dokter harus bersiap-siap mempunyai banyak atasan mulai atasan dalam arti yang sesungguhnya, atasan anggota dewan (karena kalo pas anggota dewan ini tidak puas dengan layanan kita bisa mengungkapkannya kepada kepala dinas atau media), atasan kolegium dokter sendiri, atasan departemen kesehatan, dan atasan masyarakat yang bebas mengutarakan pendapatnya kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Semuanya menyuruh dokter harus seperti itu, harus seperti ini, jangan begitu, jangan begini, kalau tidak begini kamu akan begitu, kalau tidak begitu kamu akan begini yang sering kali satu sama lain saling bertentangan, dan semuanya berakibat memojokkan posisi sang dokter....
Waduh ribet banget ya. Capek deh
Kalo begitu ga usah ada orang yang mau jadi dokter yah. Apa kata dunia?
Sebenarnya saya tidak tega untuk mengutarakan pikiran picik seperti di atas. Kalau berpikiran seperti itu, setiap orang punya risiko karena telah hidup di dunia ini. Membaca berita kecelakaan mulai dari pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara sepeda motor, dan pengendara serta penumpang mobil, berarti semua orang punya risiko. Berarti ga usah keluar dari rumah ya. Tetapi kalau lihat berita di media, orang yang tinggal di rumah bisa mati tertimpa rumah yang runtuh lantaran gempa, tertimpa pesawat jatuh.... hiii ngeri... lalu mau ke mana lagi?
Ini juga konsekuensi dari kita punya perasaan dan emosi. Rasa takut, sisi positifnya adalah kita lebih waspada dan berhati-hati. Tetapi kalau kita lihat sisi negatifnya ya...akan menjadi penyakit yang biasa dikenal dengan gangguan kecemasan. Serba tersiksa karena takut yang terus-menerus memenjara pikiran dan hatinya. Seorang teman spesialis bedah pernah bercerita, beliau bekerja di rumah sakit pemerintah. Menurut penuturan beliau, “kalau bekerja di rumah sakit pemerintah, pengadaan jarum baru biasanya agak susah, sehingga seringkali mendapati jarum untuk menjahit sudah agak tumpul. Akibatnya agak susah saat menjahit, tetapi untungnya pasien dalam keadaan tidak sadar. Permasalahannya terletak pada keselamatan bekerja dokter. Setidaknya dokter yang melakukan operasi tertusuk jarum macam begitu enam bulan sekali.” Saya bertanya pada beliau “apa tidak takut tertular HIV atau hepatitis dan semacamnya dok?” Beliau dengan santai dan tenang menjawab, “Ya ini risiko pekerjaan. Kalau kita memikirkan dampak negatif kita tidak bekerja. Plus kita berdoa semoga Allah SWT selalu memberikan keselamatan dan kesehatan dan selalu berkhusnudzan.”
Karena itu, kalau sudah mantap dengan pilihan dokter sebagai profesi, hendaklah bekerja dengan hati-hati, dan penuh dengan keseriusan. Berbuat sebanyak mungkin kebaikan dengan ketulusan mengharap ridho Allah SWT melalui profesi yang telah dipilih dan ditekuni, semoga dengan itu Allah SWT memberikan keberuntungan dan kemuliaan. Karena tidak ada Zat yang bisa memberikan kemuliaan, mencabut kemuliaan dan menggantinya dengan kehinaan kecuali Allah SWT. Tidak ada niat yang bisa mengantarkan seseorang kepada kemuliaan selain berharap mendapatkan ridho-Nya.
Wallahua’lam