Malam itu, begitu suntuk bagi dokter Ari, dari pagi sampai siang menjelang sore, beliau menghabiskan waktu membimbing co-ass yang stase di bagian forensik. Di samping dia sendiri harus mengumpulkan banyak data dari buku-buku catatan forensik yang bertumpuk, untuk keperluan menyelesaikan tesisnya. Baru saja dokter Ari, hendak merebahkan tubuhnya setelah praktik sore di klinik rumah sakit, penyeranta hanfonnya berbunyi. Suara pak Sumanto di seberang sana, bergema nyaring dari loud speaker hanfon, meminta dokter Ari segera datang ke bagian Forensik untuk melakukan otopsi.
Jam dinding di bagian forensik menunjukkan pukul 22.30 WIB. Di meja otopsi terlihat mayat seorang waria. Sementara di kamar penyimpanan mayat ada satu jenazah. Karena sudah larut malam, bersama co-ass yang stase, dokter Ari segera memimpin otopsi pada jenazah waria itu. Sebenarnya dalam hati dokter Ari merasa ada yang janggal, sebelum melakukan otopsi pada jenazah waria ini, yaitu belum ada segel dari kepolisian yang biasanya diikatkan pada seutas benang yang ditali pada ibu jari kaki jenazah. Karena merasa jam sudah larut malam, dokter Ari tak menggubris kejanggalan dalam hati dan langsung saja melakukan otopsi. Bersama co-ass, dokter Ari melakukan pembukaan kepala, dada dan perut, dengan sebelumnya melakukan inspeksi pada kulit luar seluruh tubuh jenazah waria ini. Semua prosedur otopsi telah dilakukan dengan baik oleh dokter Ari bersama co-ass malam itu. Selesai melakukan otopsi, dokter Ari, mengembalikan jenazah waria ini ke tempat penyimpanan jenazah dan bergegas pulang.
Esok harinya, pada saat jam dinas, pak Sumanto tergopoh-gopoh mendatangi meja dokter Ari.
“Dokter Ari, kemarin yang seharusnya diotopsi adalah mayat yang ada di tempat penyimpanan jenazah, bukan mayat waria itu. Mayat waria itu memang datang belakangan, tetapi karena sudah larut malam saya biarkan saja ditaruh di meja otopsi. Mohon dokter bisa melakukan otopsi pada mayat yang di tempat penyimpanan jenazah. Sekarang sudah saya siapkan.”
“Astaghfirullah. Pak, lha kalau ga ada permintaan otopsi pada mayat waria itu gimana pak? Kita bisa dituntut malpraktik? Gimana sih pak?”
“Lha itu dok, saya juga ikut mencemaskan mayat waria yang sudah berubah bentuk karena habis otopsi itu”
“Besok lagi, kalau ngasih kabar yang jelas dong pak”
“Tapi saya juga tidak salah dok, mestinya polisi kalau bawa mayat ke sini juga ada permintaan otopsi tidak asal nitipin saja”
“Iya... tapi kan tidak semua mayat yang datang di sini langsung begitu saja bisa diotopsi kan pak. Kan harus ditunggu minimal 1 kali 24 jam dulu nunggu kabar dari keluarga si mayat kan?”
“Iya dok..... saya minta maaf”
“Iya sudah... tolong disiapin mayat yang mau diotopsi di meja otopsi. Mudah-mudahan pagi ini pak polisi segera menyerahkan surat permintaan otopsi untuk mayat waria itu. Biar kita bisa tenang”
“Iya dok... sudah saya siapin di meja otopsi dok”
Dokter Ari bersama co-ass, sekali lagi melakukan otopsi luar dan dalam pada jenazah yang tadi malam disimpan di ruang penyimpanan jenazah.
Prosedur otopsi telah dilakukan dengan sempurna beserta surat keterangan hasil otopsi untuk diserahkan kepada polisi yang akan datang pagi agak siang nanti.
Beberapa lama kemudian polisi datang, sesuai dugaan meminta hasil otopsi jenazah yang telah dilakukan otopsi pagi itu. Dan.....
Di luar dugaan, polisi juga membawa surat permintaan otopsi dan segel kepolisian untuk jenazah waria yang datang tadi malam. Dokter Ari dan pak Sumanto amat lega dengan surat dan segel itu.
“Pak... pak bisa-bisa dituntut malpraktik pak... kan lucu dokter forensik kok dituntut malpraktik” kata dokter Ari kepada pak Sumanto, sambil merapikan dokumen otopsi untuk kedua jenazah itu.
“He he he ... iya dok, jadi lucu dokter ahli mayat kena tuntutan malpraktik oleh mayat” kata pak Sumanto menyengir.
Beberapa saat kemudian dokter Ari menyerahkan berkas otopsi kedua jenazah itu kepada polisi.
Pak polisi terheran-heran. “Kok otopsinya cepat sekali dokter”
“Iya pak.... kan sudah hafal” kata dokter Ari tak kalah bingung..
Ternyata malpraktik bisa pula mengenai dokter ahli mayat....