Menurut Anda, apakah perlu dokter itu memiliki jiwa altruism atau mempunyai itsar
yang tinggi. Sebagian dokter mungkin akan berkata,
“Sekarang zaman susah, kita harus memikirkan dana kesehatan kita sendiri. Kita harus memikirkan pendidikan anak-anak kita. Kita harus memikirkan keamanan dana terhadap tuntutan malpraktik. Yang benar saja bung…ini nasib kita…ah ndak usah sok idealis lah”.
Sebagian mungkin akan menambahkan
“Pasien itu maunya enaknya saja, ketika dia puas dengan kita, mereka diam saja. Tetapi begitu kita ada masalah sedikit saja, langsung dibesar-besarkan dan nama kita masuk media. Kenapa harus memikirkan mereka dengan sungguh di luar jam praktik”.
Inilah kategori pemikiran yang berorientasi transaksional keuntungan jangka pendek.
Mereka yang berorientasi pemikiran jangka panjang akan berpendapat,
“Wahai teman sejawat..di zaman yang serba kompetitif ini, mau tidak mau, hubungan jangka panjang yang terjalin dengan baik itulah keunggulan bersaing kita”. Mereka kemudian menjelaskan
“Altruisme atau itsar pada pasien toh tidak semuanya..paling terjadi kurang dari 10 % pasien yang berkunjung…tapi…efeknya luar biasa. Menjadi sumber berita dalam populasi calon pasien target Anda. Nama Anda melambung. Jadi buah bibir di setiap forum. Dokter A dermawan dan sebagainya. Semua orang akan menengok ke nama Anda. Itu baru yang pertama. Kalau Anda berhasil membina hubungan baik dalam jangka panjang, bila diagnosis atau terapi Anda tidak tepat asal tidak fatal, mereka masih akan tetap kembali pada Anda. Mereka masih memaafkan Anda. Justru mereka akan merasa bersalah bila pindah ke dokter lain. Ingat HUBUNGAN JANGKA PANJANG, berarti kesinambungan penerimaan keuangan jangka panjang Anda. Intinya kalau Anda mau kaya harus berjiwa kaya dulu.”
Apakah demikian motivasi Anda dalam menumbuhkan sifat altruisme atau itsar dalam diri Anda, sehingga menjadi karakter pribadi Anda? Apakah dapat diartikan dengan motivasi seperti itu, menahan nafsu “mengeruk” dalam jangka pendek digantikan “bersabar” akan mendapatkan kesinambungan pendapatan dalam jangka panjang, akan membuat Anda merasa tenang dan bahagia?
Belum tentu!
Membangun hubungan jangka panjang dengan pasien atau klien butuh energi psikis yang sangan besar yaitu KESABARAN. Ingat! Pada saat yang sama kita juga berlomba dengan waktu yang menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga yang mendesak. Harus ada pendapatan rutin. Harus bisa membayar SPP anak Anda. Harus ada dana cadangan untuk keperluan tak terduga. Apalagi Anda bukan PNS, sedangkan pendapatan jaga dari UGD Poliklinik 24 jam atau RS yang relatif sepi belum dapat diandalkan.
Kok…pakai relatif sepi segala? Ya..tempat yang ramai sudah diduduki oleh senior Anda!
Laa Tahzan…Innallaaha ma’ana
Jangan cemas..sesungguhnya Allah selalu bersama kita. Allah berfirman, Siapa yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Kami, maka akan Kami tujukkan pada mereka jalan-jalan Kami… Janji Allah sudah jelas, barang siapa yang bersungguh-sungguh dan penuh dengan keyakinan..maka akan diberikan ide-ide atau langkah-langkah terobosan atau mungkin jalur lain yang sama sekali berada di luar perkiraan kita.
Sekarang tergantung pada Anda yakin atau tidaknya
Kembali kepada pertanyaan di atas “Apakah dokter itu perlu memiliki sikap itsar atau altruis?”
Dokter yang mempunyai sikap itsar atau altruis pada prinsipnya adalah dokter yang kaya hati, yakni dokter yang kaya akan cara mewujudkan kebahagiaan yang dapat dirasakan, baik untuk dirinya, keluarganya, koleganya sesama dokter, bersama-sama dengan pasien, maupun keluarganya.
Sebaliknya, dokter yang miskin adalah dokter yang miskin alternatif cara mewujudkan kebahagiaan yang seimbang baik untuk diri sendiri, keluarga, kolega sesama dokter, pasien maupun keluarganya. Dokter yang miskin dalam pengertian ini, bisa jadi ia sangat kaya materi, tetapi kualitas interaksi dan hubungan dengan keluarganya, koleganya sesama dokter, pasien dan keluarga pasien sangat kurang. Bisa jadi praktiknya laris, pasien banyak yang sembuh, tetapi interaksi dokter-pasien bersifat matematis transaksional, tidak ada ruh emosional silaturahim yang mewarnai hubungan tersebut. Pasien merasa dokter hanya buru-buru, basa-basi, dan yang dibutuhkan dokter hanyalah uang pasien. Pasien juga merasa bahwa tidak ada rasa tanggung jawab terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan dokternya. Apalagi bila ada masalah dalam pelayanan, pasien lebih mudah membayar pengacara mengajukan tuntutan tindakan malpraktik kepada dokter.
Dokter kaya hati inilah wujud dari adanya jiwa itsar atau altruisme dalam diri seseorang. Jadi tidak saja berorientasi pada orang lain, tetapi juga memperhatikan kebahagiaan diri serta tetap menjaganya selalu dalam keseimbangan.
Namun demikian,
keterbatasan-keterbatasan manusiawi harus tetap diperhatikan, sebelum berorientasi pada orang lain. Wallahua'lam